LAYANG-LAYANG KENANGAN
Karya Faisal Syahreza
Aku baru bisa mengerti kenapa anak-anak kecil itu lebih memilih menerbangkan atau mengejar sebuah layang-layang ketimbang sekolah, setelah mencoba sekuat tenaga menengok sepuluh tahun lalu masa kanak-kanakku. Ya, kenapa anak-anak itu mempunyai tekad yang bulat dan tak bisa diganggu-gugat, setelah kuyakini bahwa layang-layang itu kelak akan menjadi satu-satunya kenangan bagi mereka. Bayangkan saja, di antara atap-atap perumahan yang semakin menanduk langit, layang-layang masih bisa berlayar dan berputar-putar di angkasa raya. Meskipun kabel-kabel listrik membentang dan kawat-kawat telepon mengambang, layang-layang masih bisa melekat di antara lapisan awan. Dengan benang yang terulur dari gulungan, angin masih memandu sebuah layang-layang berlenggak-lenggok membelah cakrawala. Dan anak-anak memandanginya seolah-olah di arah jauh sana, ia mempunyai anak yang begitu dicintainya.
Maka tak ada alasan, ketika aku menemukan sebuah layang-layang yang teronggok di atap rumah kos-kosan, kuambil saja meski harus dengan susah payah merayapinya. Sebenarnya bisa jadi itu layang-layang yang nyasar dua-tiga hari tercampak di situ. Sebab di kos-kosan hanya aku yang paling sering mendatangi tempat menjemur cucian sekaligus penyimpanan barang-barang yang sudah tak terpakai. Selain itu, aku memang lebih suka menjemur cucian dihamparkan di atas genting dan seng. Dan juga sungguh layang-layang masih sangat memesona untuk mencuri perhatianku.
Saat itu pula, dengan langkah hati-hati mencari tempat berpijak yang aman kutelusuri atap rumah itu. Ketika kupandang langit, matahari masih dengan sepenuh hatinya menancapkan panasnya persis ke ubun kepala. Dan kulihat memang, dari beberapa hari ke belakang, di langit sudah ada beberapa layang-layang berkeliaran. Tentu ini musim adu layang-layang, pikirku. Aku pun tak bisa membendung keinginan yang tiba-tiba menyergap dan membuat panas di bagian pangkal leherku untuk menyempatkan waktu menerbangkan layang-layang.
Setelah akhirnya dapat kuraih layang-layang itu aku pun mulai berpikir bagaimana caranya mendapatkan benang yang lebih panjang lagi, agar dapat menerbangkan layang-layang itu setinggi mungkin. Sebenarnya bisa saja aku memaksakan diri untuk pergi ke warung di mana menjual perlengkapan layang-layang. Tapi akankah keperluan menerbangkan layang-layang masih terasa mendesak sebagaimana sepuluh tahun yang lalu dalam hidupku? Rasanya tak begitu juga.
Bukan aku ingin cepat-cepat menyelesaikan dengan mencari jalan untuk mendapatkan benang yang lebih panjang. Aku malah memilih terdiam, memandangi khidmat layang-layang yang kini kuletakkan di lantai. Satu per satu bayang-bayang masa silam seperti terulur dari ingatanku. Saling berlompatan dan membuat lalu lintas kenangan dalam pikiran.
Tak lama kemudian, derap langkah kaki menaiki tangga memecahkan lamunanku. Terlihatlah seseorang menjinjing sebuah ember berisi penuh cucian. Tadinya wajahnya terlihat serius, tetapi begitu menangkap bayanganku yang tepat ada terdiam di hadapannya menjadi sedikit terkejut. Mungkin dia tak mengira ada seseorang yang mau berlama-lama di lantai paling atas kos, tempat menjemur pakaian. Lelaki yang menjemur pakaiannya bernama Aji, penghuni kos yang lebih dulu ketimbang aku.
Ia melihat persis ke arah di mana layang-layang kuntunjukkan dan hanya mengangguk. Sebelum akhirnya satu per satu mengambil cuciannya dari embernya dan dibentangkan di atas kawat jemuran yang memanjang dari kiri ke kanan.
“Mengapa tak diterbangkan?” Akhirnya dia bertanya juga, meski tatap matanya fokus ke cuciannya.
“Tak cukup benangnya.” Sedikit dengan nada kecewa, dan tertawa.
Dia tahu sebenarnya, benang yang terulur dari layang-layang itu tak akan cukup untuk bisa menerbangkan layang-layang itu. Karena ujung tali layang-layang itu terjulur tepat persis dekat di mana ia sekarang berdiri.
Tak ada lagi yang bersuara antara kita berdua. Sepertinya percakapan itu tertelan oleh kesunyian yang menyelinap bersama angin. Kulihat kembali ke langit, dua-tiga layang-layang terseok-seok terbawa angin sempoyongan. Layang-layang yang kalah lagi. Layang-layang yang terputus atau lepas semakin menarik diriku ke dalam pusaran kenangan. Terlintas lagi beberapa adegan dari masa silam.
Bapak dahulu sering mengajakku sore-sore ke sebuah lapangan di kampung halaman. Di mana pada musim bertiup dari barat tiada henti menerpa, bapak tahu itulah waktunya tiba bagi mengadu layang-layang. Ketika itu, aku tak tahu bapak mengajakku untuk menerbangkan layang-layang. Baru kutahu ketika bapak mengeluarkan sebuah gulungan yang dililit benang dan memperlihatkan sebuah layang-layang.
“Kau harus bisa menerbangkan layang-layang.” Katanya padaku.
“Perhatikanlah! Aku tak akan memberitahukan caranya untuk kedua kali.” Tambahnya lagi. Bapak dengan cekatan mengulur benang layang-layang dan membiarkan angin membawanya terbang. Sesekali diulurinya dan kemudian ditarik lagi benang layang-layang itu dengan tangkas oleh bapak.
Aku khidmat memerhatikannya. Sebelum akhirnya bapak memberikan padaku kesempatan untuk mencoba memainkannya. Mulai saat itulah aku tahu bagaimana caranya menerbangkan layang-layang dan memainkannya di atas gumpalan awan.
Cukup lama aku terhanyut dalam ingatan-ingatan hingga akhirnya aku tahu Aji menghilang dari hadapanku. Dan layang-layang itu masih tetap tergeletak di lantai. Ketika itu entah perasaan apa yang membuat aku harus melangkahkan kaki membeli benang di warung penjual perlengkapan layang-layang.
Baru dua anak tangga yang kuturuni, kini berbalik, aku dikejutkan keberadaan aji yang sekarang berniat menaiki tangga lagi. Kukira, dia akan menjemur cucian pakaiannya yang tertinggal. Dugaanku salah rupanya, di tangannya sebuah gulungan tampak digenggam jemarinya. Ia memperlihatkannya sengaja padaku. Dan aku pun semakin terkejut dibuatnya.
“Dulu aku sering bermain layang-layang. Ini masih ada gulungan dan benangnya.” Sambil menyerahkankan padaku.
“Kita terbangkan layang-layang!”Aku tak bisa menjawab apa-apa sebenarnya. Jadi aku hanya bisa mengajaknya saja.
Ia tersenyum, dan menggelengkan kepalanya. Kemudian membalikan badan, pergi. Aku terpatung beberapa saat. Berpikir kembali, apakah mungkin ia menganggap aku kanak-kanak. Atau ada anggapan lain yang membuatnya menjadi tertawa di kamarnya.
Namun perasaan itu tak terlalu mengganggu. Satu-satunya yang kini hadir di benakku adalah mengingat kembali bagaimana caranya menerbangkan layang-layang yang kini sudah lengkap dengan benang. Tak berpikir panjang, aku kembali menuju atap rumah kos-kosan.
Perlahan-lahan kurayapi kembali atap rumah kos-kosan. Sambil sesekali berhati-hati, bilamana aku berpijak pada sebuah genting yang rapuh.
Dari situlah, kurasakan angin bertiup kencang. Kuulur benang yang telah kusambungkan dengan benang yang terikat di rangka layang-layang. Dengan sedikit kesabaran layang-layang itu pun akhirnya terbang terbawa ke arah angin bertiup. Dan perlahan meninggi, pergi menghampiri layang-layang lain yang masih berkeliaran di langit. layang-layang yang kuterbangkan menjadi satu dari sekian titik yang bergerak mengikuti ke mana angin berhembus.
Saat-saat seperti inilah, waktu yang tepat untuk mengenang. Di mana seluruh beban terasa menjadi sebuah kehampaan yang telah dikendalikan. Di mana gerak angin, cuaca dan sore hari menjadi terperangkap olehku. Suara-suara menjadi lebih terasa terdengar jelas sekali. Dan sehelai rambut yang tergerai di atas kepala kita saja menjadi begitu sangat membantu mengenali diri ini.
Aku pernah diajari bapak cara memainkan layang-layang. Agar tetap mengudara dengan gagahnya di angkasa. Bapak pula yang mengajariku bagaimana menaklukan musuh-musuh layang-layangku di atas langit. Beberapa cara yang membuat benang musuh putus dan benang kita seakan tajam seperti mata pedang. Atau membuat benang kita tetap menjadi liat, dan layang-layang musuh pun diliputi putus asa. Ya, begitu banyak yang diwariskan bapak padaku. Terlebih ketika aku masih kanak-kanak. Tetapi rasanya, bapak lupa sesuatu untuk dia ajarkan padaku. Bagaimana caranya merelakan layang-layang ini kalah dan pergi menghilang dari hidupku. Agar kelak aku tak perlu lagi mengingat-ingat dan berusaha membuatnya tetap tampak gagah berputar-putar di angkasa. Seperti halnya sekarang ini, layang-layang yang sedang kuterbangkan masih tetap seperti dulu dimainkan oleh bapakku.
Tak seberapa lama, layang-layangku semakin terlihat menyatu bersama gunukan awan. Dua-tiga layang-layang kini terseok-seok oleh angin dan sempoyongan. Aku tersenyum, setelah baru saja kukalahkan layang-layang itu telak dalam satu kali tarikan
***
0 komentar:
Post a Comment